Banten pada masa lalu merupakan
sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat
yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan
Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti
Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di
tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul,
Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan
berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut
mengagungkan keberanian rajaPurnawarman. Setelah
runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut
beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya),
kekuasaan di bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada
tahun 1513,
Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis
tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan
Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan
dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada
tahun 1527, Maulana
Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan
pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan
Pajajaran, ibukota atau pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan
Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan
Banten. Hal itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat
duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu
terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu
"mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan
memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Kerajaan Sunda
yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana
dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar.
Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai
tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa;
masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai
yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang
pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu
hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran
kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu,
terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah
kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan
dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di
bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang
ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat
raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan
sebuah mesjid agung.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat
perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata
administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi
tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah
yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya,
orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan
loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di
Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai
pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada
mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun
tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang
Belanda.
Pada 1 Januari
1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem
desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk
pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi
pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat
keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.
Banten menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping
Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon
Kebudayaan Pencak Silat
Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari
budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah
menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara
historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum
Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15
di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan
pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan
silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu
berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari
pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak
silat menjadi bagian dari latihan spiritual.
Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak
terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan
gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak
silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang
didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin.
Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat
sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal
ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai
berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan
masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah.
Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara
luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam
ilmu silat.
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini
diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu
kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata
tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh,
menggoreng telur di kepala dan lain-lain.
Debus dalam bahasa Arab yang
berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan
berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan
biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang
lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada
dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak,
mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api,
memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak
terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi
dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras
sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca,
membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.
Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus
menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.
Kebudayaan Rudat Banten
Rudat adalah kesenian
tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat,
dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat
terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan
orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas
penari.Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang
dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang
dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa
pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan
Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Tidak banyak yang
mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang
mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal.
Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun
hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak
dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.
Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten
Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda
dengan Saman yang ada di Aceh, disini para pemainnya terdari dari laki-laki
dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil menyebutkan shalawat Nabi
Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi dengan perangkat alat musik,
hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh yang
berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu
seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
Kebudayaan Ubrug Banten
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu
saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug
ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang
berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil
dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan,
maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi
atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar,
kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau
betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang
yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat
menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.
Kebudayaan Tari Cokek Banten
Cokek adalah sebuah
tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar
abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan
tanah
Tionghoa di Tangerang yang sedang
merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa
orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang
musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir
sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya.
Salah satu alat musik
yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu
kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat
yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik
tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.
Lantunan nada dari
perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan
nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek
menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari
mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri
pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi
anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi
Banten mulai mengenal nama tari Cokek.
Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek.
Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek.
Jika pertunjukan
Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak
pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika
diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu
kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.
Tanda ajakan
dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu.
Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek
telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak.
Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya,
para tamu itulah yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga
pertunjukan tari Cokek
Kebudayaan Golok Banten
Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten
Kesenian
dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan
adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan
Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu
nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung
karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen
seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung
adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya
selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan
karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara
tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton
Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan
ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi,
serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang
sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan
untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor
dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang
terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap
instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Kebudayaan Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang
Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau
sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah kanekes bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda
dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia
ketika berdialog dengan penduduk luar.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting
bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Kebudayaan Rumah Adat Baduy
Rumah
adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun atap dan lantainya
dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan dindingnya
terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah batu
yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin
mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah
adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orangKanekes atau disebut juga orang Baduy.
Kebudayaan Golok Banten
Golok adalah pisau besar dan berat yang digunakan sebagai alat
berkebun sekaligus senjata yang jamak ditemui di Asia Tenggara. Hingga
saat ini kita juga bisa melihat golok digunakan sebagai senjata
dalam silat.
Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi tergantung dari pandai besi yang
membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir serupa
dengan machete tetapi golok cenderung lebih pendek dan lebih berat, dan
sering digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok biasanya
dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar
lainnya di dunia. Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan
pengasahan yang lebih sering.