Beberapa bulan silam, di sebuah situs online nasional, merdeka.com
(29/12/13) terbit berita yang menggelitik hati saya. Sebuah kawasan
pegunungan di Jawa Tengah yang biasanya dijadikan para mahasiswa yang
menamakan dirinya pecinta alam maupun orang-orang yang gemar mendaki,
yakni gunung Slamet, tampak begitu kotor dengan tumpukan sampah
anorganik yang beragam, seperti botol air mineral, bungkus mie instan,
bungkus snack, bungkus perrmen, kantong plastik, dan
sebagainya. Hal ini sangat ironis di mana mereka yang menisbatkan
dirinya sebagai pecinta alam tapi malah mencemarinya. Terlebih lagi, hal
ini terjadi bukan di satu lokasi pendakian saja.
Kemudian saya teringat kembali dengan
kebiasaan banyak mahasiswa yang pernah saya saksikan selama ini. Mereka
membeli makanan ringan di kantin-kantin. Namun bukan itu masalahnya.
Setelah mereka memakannya, kemasannya mereka letakkan begitu saja di
mana ia berada ketika makanannya telah habis, lebih parah lagi bila
kemasan itu dilempar sembarangan. Padahal, jika mereka ingin bersabar
sedikit saja untuk memegangnya, mereka dapat menemukan tempat sampah.
Hal lain yang sering disepelekan mereka adalah bungkus permen. setelah
permennya dibuka, bungkusnya dibuang sembarangan di hadapan atau samping
mereka.
Ini memang bukanlah kasus besar, tidak sebesar masalah global warming
yang kian hari kian menghimpit Bumi kita. Juga tak seberbahaya masalah
polusi udara oleh kendaraan bermotor yang tiap tahun selalu meningkat
jumlahnya. Namun, kebiasaan atau yang lebih senang saya sebut sebagai
budaya buang sampah sembarangan ini ibarat gunung es yang suatu saat
nanti akan membahayakan Bumi kita. Memang, bila hanya beberapa orang
saja yang berkebiasaan demikian, tak akan membuat Bumi krisis, tetapi
sayangnya hal tersebut terjadi secara kolektif dan berkelanjutan. Sampah
yang seharusnya terorganisir dengan baik itu justru berserakan di
mana-mana.
Mengapa sampah tersebut perlu dikelola
dengan baik ? Berdasarkan data UNEP, sebuah program Lingkungan PBB,
mengungkap bahwa jumlah produksi sampah di sunia saat ini 1,3 miliar ton
per tahun dan terus meningkat hingga diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai angka 2,2 miliar ton per tahun (sumber: hijauku.com).
Ancaman terburuk dari buang sampah sembarangan ini terjadi di negara
berpendapatan rendah seperti Indonesia di mana sampah kebanyakan
menumpuk di aliran sungai dan di pintu-pintu air. Bumi akan nampak
sangat kotor.
Bila menilik peran mahasiswa sebagai agent of change,
tentu hal ini sangat berkebalikan dengan kenyataan saat ini. Mahasiswa
yang selayaknya melakukan perubahan ke arah positif demi keselamatan
Bumi, dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan ini justru membuat
perubahan yang terjadi menunjukkan grafik menurun. Apakah para mahasiswa
saking ‘sibuk’nya mengkritisi pemerintah, Undang-Umdang, birokrat,
sampai-sampai lupa akan hal kecil namun penting ini ?
Mulai saat ini sudah saatnya mahasiswa
berhenti mengatakan bahwa masalah sampah ini adalah masalah sepele.
Sebab, kebanyakan mahasiswa akan berfikir, “Untuk apa kita
mementingkannya, bukankah ada cleaning service, tukang sapu,
dan sebagainya,”. Itu benar, namun apakah orang-orang tersebut siap
memberssihkan semua tempat yang telah dikotori oleh mahasiswa ?
Sudah saatnya mahasiswa yang berperan
penting dalam peradaban, mencemaskan bahaya laten buang sampah
sembarangan ini. Dari mahasiswalah budaya buang sampah pada tempatnya
harus dihidupkan kembali. Pada generasi-generasi mudalah eksistensi Bumi
dipercayakan. Sekarang bukanlah saatnya mencari siapa yang paling
bersalah, namun sekarang adalah saatnya mencari siapa yang mau memulai
dan mempertahankannya.
No comments:
Post a Comment